Peta Kelurahan Blimbing


View Zainal Mahfud Blimbing in a larger map
Tampilkan postingan dengan label Blimbing. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Blimbing. Tampilkan semua postingan

Kamis, 08 Februari 2018

LEGENDA DESA BLIMBING


                  LEGENDA DESA BLIMBING
 



                                    

DICERITAKAN OLEH:
ZAINAL MAHFUD, S.Pd.I


KATA PENGANTAR

Cerita rakyat yang beredar di masyarakat biasanya diangkat dari peristiwa yang memang pernah terjadi pada masa lampau. Dengan demikian tokoh-tokohnya benar-benar ada, Cerita itu kemudian beredar dari mulut ke mulut, dengan penambahan dan pengurangan disana-sini, hingga akhirnya beredar sekian banyak versi yang satu sama lain memiliki perbedaan, bahkan terkadang pertentangan.
Fungsi cerita rakyat adalah membawa pembaca dan pendengarnya kepada nilai-nilai yang ada dalam masyarakat tempat cerita itu berakar.
Kelurahan Blimbing adalah sebuah Desa yang berada di bagian wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Propinsi Jawa Timur Indonesia, Desa Blimbing terletak di bagian pantai utara Kabupaten Lamongan yang memiliki keunikan tersendiri dibanding desa-desa lainnya karena masyarakatnya yang majemuk kumpulan rakyat pendatang / perantauan dari berbagai daerah yang memiliki karakter dan nilai budaya yang berbeda.
Desa Blimbing memiliki sumber alam yang bermacam-macam, mata pencaharian masyarakatnya juga beragam sehingga dapat meningkatkan kemakmuran rakyatnya tetapi masyarakat sebagian besar bekerja sebagai pelaut.
Desa Blimbing memiliki sejarah yang berbeda dengan desa lain, dalam Legenda Desa Blimbing ini mengandung pesan-pesan moral dari tokoh-tokoh cerita yang dapat dijadikan tauladan dan banyak peristiwa yang terjadi terkait dengan nilai-nilai luhur orang tua yang tidak boleh diabaikan begitu saja.
Legenda Desa Blimbing ini kami tulis berdasarkan pitutur dari beberapa orang tua, juga bukti tempat peninggalan sejarah yang kami dokumentasikan,  dalam cerita ini kami paparkan patilasan-patilasan (peninggalan sejarah) masih utuh juga yang sekarang sudah mengalami perubahan.
Mudah-mudahan cerita ini memberikan sumbangan positif bagi pembentukan watak generasi mendatang dan menjadi wahana pendidikan sejarah di Indonesia.
Penulis









LEGENDA DESA BLIMBING
(Wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Propinsi Jawa Timur Indonesia)
Diceritakan oleh : ZAINAL MAHFUD,S.Pd.I
Mbok Sumirah adalah janda yang ditinggal wafat suaminya Raden Mas Kabejan (Saudara Sayid Ali : Keturunan Raden Paku) seorang Kepala kampung yang meninggal dunia waktu memancing ikan naik ju’ung (perahu kecil) di pesisir pantai utara Lamongan. Ju’ung itu digulung ombak besar kemudian Raden Mas Kabejan tenggelam, karena sehari tidak pulang Mbok Sumirah mencari tempat perahu kecil itu bersandar, kebetulan rumahnya dekat dengan pantai, ternyata perahu itu tidak ada, perasaan dan firasat Mbok Sumirah was-was dan khawatir “biasanya sore begini Pak Kabejan sudah pulang, sampai menjelang magrib kok belum pulang ada apa ya?, tadi saya mendengar suara gemuruh ombak hanya sebentar, angin kencang sekali seperti angin topan dan air lautnya pasang sampai depan rumah!” Kata Mbok sumirah bergumam, karena was-was dan khawatir Mbok Sumirah mondar-mandir kesana kemari meminta tolong tetangga sekitar untuk mencarinya, namun tidak diketemukan tanda-tanda jasad Raden Mas Kabejan hidup atau meninggal.
Pagi harinya tampak matahari baru merangkak mengintip pintu rumah, warna langitpun masih merah jingga, kokok ayam bersautan disana-sini, Mbok Sumirah sedang menyapu halaman rumah lubuk hatinya setengah pasrah atas kejadian yang menimpa suaminya, lalu berdo’a “Ya Allah kemana suamiku pergi, tolonglah! tampakkan di hadapanku mati atau hidup,” kata Mbok Sumirah berharap.
Tiba-tiba dengan ijin Allah Jasad Raden Mas Kabejan didorong oleh dua ikan lumba-lumba besar berjalan  menuju depan rumahnya, jasadnya masih utuh tak ada cacat atau tanda-tanda tubuhnya yang terluka, pakaian yang dikenakan dalam keadaan utuh, Mbok Sumirah menangis melihat jasad suaminya yang tidak bergerak lagi, dibolak-balik suaminya dengan rasa kasihan dan pasrah   kemudian mengelus-elus ikan lumba-lumba dan menyuruhnya pergi
“Terimakasih makhluk Allah yang baik, pergilah ke tempatmu semula semoga Allah senantiasa melindungimu, kelak kamu menjelma menjadi ikan-ikan yang banyak dan tak habis dimakan orang sampai hari akhir!” ucap Mbok Sumirah. Lumba-lumba itu seakan mendengar yang diucapkan Mbok Sumirah, lalu pergi menuju laut.
Tetangga Mbok Sumirah tidak banyak, jarak tetangga satu dengan lainya agak jauh kira-kira 100 meter, satu persatu mereka datang untuk menanyakan berita Raden Mas Kabejan, ternyata Raden Mas Kabejan sudah terbujur tenang di atas dipan (tempat tidur dari kayu tanpa kasur), mereka meminta cerita ketemunya suami Mbok Sumirah, Mbok Sumirah menyeritakan apa adanya tentang keadaan suaminya itu.
Setelah para tetangga mendapat cerita dari Mbok Sumirah tentang Kematian Raden Mas Kabejan, mereka bergotong royong untuk menyemayamkan mayat Raden Mas Kabejan, sebagian ada yang memandikan, ada yang menjahit kain kafan, menyiapkan lokasi pemakaman juga ada yang membentangkan tikar untuk shalat mayat berjamaah.
Semua persiapan pemakaman selesai, Raden Mas Kabejan dimandikan, dikafani, kemudian dimakamkan di Kalbakal, sebuah lokasi makam yang terletak di tengah-tengah Desa.
Mbok Sumirah hanya bisa memandang dengan rasa haru dan kadang-kadang menangis mengenang kejadian yang menimpa suaminya dengan Kematian yang misterius itu.
Pernikahan Raden Mas Kabejan dengan Sumirah membuahkan seorang putri tunggal bernama Ningrum Anggraeni Setiasih. Dia disebut Bunga Desa karena perempuan di desa itu hanya Ningrum Anggraeni Setiasih yang dipandang paling cantik, parasnya bulat telur, tubuhnya tinggi semampai, rambutnya hitam kelam berombak, panjang rambutnya mencapai betis, warna kulitnya kuning langsep, hidungnya tidak terlalu mbangir (mancung) juga tidak terlalu pesek, bola matanya bersinar kilau, bibirnya merah delima. Konon semua rahasia kecantikan didapat dari ibunya, karena saat Ningrum beranjak remaja ibunya menuturkan tentang perawatan wanita.
Saat itu tidak ada alat kecantikan secanggih sekarang, Mbok Sumirah mengajarkan macam-macam kosmetik tradisional, apabila rambut ingin tetap sehat, hitam kelam dan subur disuruh kramas (mencuci rambut) dengan londzo yaitu kulit pohon pisang (debog) dan merang/sekam (tangkai tumbuhan padi yang kering) di bakar lalu direndam dalam air yang sudah dimasak, kemudian sari airnya digunakan untuk kramas sebagai shampo alami, begitu juga bedak untuk wajah dan tubuh, Ningrum diajari menggunakan beras ditumbuk halus kemudian dicampur air jeruk nipis lalu dilulurkan ke seluruh tubuh dan wajah menjelang tidur malam. Mbok Sumirah juga mengajarkan agar gigi putrinya tetap awet dan putih hendaknya menggunakan arang ditumbuk halus dicampur madu asli untuk dijadikan pasta (odol) gosok gigi.
Sosok Ningrum Anggraeni Setiasih benar-benar seorang putri Bunga Desa yang anggun, elok, cantik bagai bidadari turun dari surga, meskipun kecantikannya tak tertandingkan oleh wanita-wanita lain sedesa, Ningrum tidak memiliki sifat sombong, tutur kata dan tindak tanduknya tetap sopan santun, lemah lembut dan menawan, dia berpegang teguh dengan nasihat orang tuanya dan selalu mengingat tutur kata ibunya :”Dadi wong wadon iku nduk ajine rogo soko busono, ajining ati soko lati”. (Menjadi orang wanita itu bagusnya tubuh dari pakaianya, bagusnya hati dari lidahnya). Maksudnya tubuh wanita itu dipandang baik bukan mahalnya buasana, bukan warnanya yang gemerlapan, bukan emas, intan berlian yang menempel di badan tapi berpakaian yang menutupi aurat, rapi, bersih dan sopan, tingkah lakunya menunjukkan kepribadian mulia, berjalan di atas bumi dengan rendah hati, sopo sinopo (saling mengenal) dengan siapapun, dan hati seseorang bisa dilihat dari tutur katanya, apabila setiap bicara menyakitkan perasaan orang lain berarti hatinya tidak baik, bila bicara senantiasa menyenangkan orang lain berarti hatinya baik.”
Ningrum Anggraeni Setiasih semenjak ditinggal pergi ayahnya (Raden Mas Kabejan) hatinya selalu gelisah tidak ada yang memberikan dongeng-dongeng menjelang tidur, biasanya sebelum tidur Ningrum ditemani ayah dan ibunya, ayahnya bercerita tentang sejarah para nabi-nabi sampai Ningrum tertidur. Mbok Sumirah tidak dapat bercerita seperti Raden Mas Kabejan, hanya bisa menuturkan hal-hal yang berkaitan dengan masa depan putrinya tentang perawatan, mengatur rumah tangga, dan pergaulan suami istri.
Melihat putrinya yang sudah semakin dewasa, prilaku dan pemikirannya mulai matang, Mbok Sumirah bercita-cita agar putrinya mendapatkan jodoh yang cocok, sepadan, serasi.
Masyarakat semakin ramai membincangkan perawan desa yang masih belum ada pendampingnya yakni Ningrum Anggraeni Setiasih, satu persatu laki-laki berdatangan ingin menyuntingnya.
Di ujung desa bagian barat tinggal seorang jejaka kaya raya namanya Joyo Suro, seorang juragan nelayan terkenal paling kaya, memiliki ju’ung (perahu kecil) sebanyak sepuluh buah, rumahnya paling bagus sedesa, bangunannya terbuat dari kayu jati mulai dari reng, usuk, blandar sampai dinding dan pintu rumahnya, bahkan Jendela, pintu, dan atap rumah semua ukiran dari Jepara, Joyo Suro seorang lelaki lajang perangainya kurang baik senang berfoya-foya uangnya digunakan untuk judi, main wanita, minum-minuman towak (bajigur). Dia ingin melamar perawan desa yang menjadi buah bibir yakni Ningrum Anggraeni Setiasih.
Pada suatu hari Joyo Suro menyiapkan segala harta benda untuk melamar Ningrum Anggraeni Setiasih, satu perahu kecil (ju’ung) dengan segala perangkat alat mencari ikan, ditambah emas yang beraneka macam yaitu perhiasan cincin 10 gram, kalung 20 gram, anting-anting 10 gram, cunduk (hiasan rambut kepala) 25 gram dibawa demi untuk mendapatkan si bunga desa, Joyo Suro berharap dengan harta benda yang dibawa Ningrum Anggraeni Setiasih dapat tergiur dan dapat terpikat hatinya.
Namun persyaratan untuk mendapatkan Ningrum bukan sebagaimana yang dibawa Joyo Suro, sehingga Joyo Suro amat kecewa dengan peristiwa ini. Joyo Suro kembali pulang dengan seluruh harta bendanya, dirinya merasa tidak dihargai dan merasa direndahkan, kekecewaanya yang menyakitkan hati, Joyo Suro menjadi nekat, rumahnya dipenuhi minuman keras mulai towak sampai arak, wanita pelacur yang pernah dikenalnya datang silih berganti untuk menghiburnya namun semua sia-sia.
Setelah orang paling kaya di desa itu tidak mendapatkan simpati dari Ningrum, orang-orang mulai membincangkan tentang Ningrum bahkan diantara mereka ada yang usil “Lha wong Joyo Suro orang yang terkaya saja tidak diterima, apa lagi saya!” katanya, bahkan ada yang celethuk “Ah... mungkin Ningrum itu gak cari orang yang kaya tapi yang miskin, duda, gantheng kayak aku ha...ha...ha...”, kata Pak Karjo melawak.
Setelah tersiar kabar bahwa Joyo Suro orang terkaya sedesa tidak diterima lamarannya oleh Ningrum, maka pemuda-pemuda yang sederhana bahkan orang keturunan China, para juragan, antek kapal sampai baik yang berstatus jaka maupun duda mulai datang bergantian ke rumah mbok rondo Sumirah ingin menyunting Ningrum, konon yang melamar Ningrum Anggraeni Setiasih sudah mencapai empat puluh orang, semua ditolak karena tidak sanggup memenuhi persyaratan/maskawin.
Kabar berita dari mulut ke mulut tentang Bunga Desa Ningrum Anggraeni Setiasih yang sudah dilamar sebanyak empat puluh orang ditolak, terdengar di desa-desa tetangga sekitar sampai daerah luar pulau Jawa , semua orang jadi penasaran secantik apa putri Mbok Rondo Sumirah itu sampai menolak lamaran sebanyak empat puluh laki-laki.
Di Dusun Gunung Langgar Desa Solokuro, disebut Gunung Langgar karena tempat itu terdapat patilasan/peninggalan berupa bukit yang berbentuk semacam langgar (Musholla), seorang laki-laki muda yang baru datang bertapa (mondok/ngaji) dari Banten namanya Joko Suryo, masih muda umurnya dua puluh lima tahun, berbudi luhur, bahkan hafal Al Qur’an, sepulang dari Banten sudah tujuh hari di rumah, baru mendengar kabar tentang Bunga Desa namanya Ningrum Anggraeni Setiasih yang sudah dilamar oleh empat puluh lelaki tapi semuanya ditolak, rasa penasaran dan ingin tahu seperti apa wanita itu sampai tidak berhasil mendapat simpatinya.
 
        1.Pintu Gerbang menuju Gunung langgar         2. Gunung langgar tampak dari jauh
 
3. Jalan setapak menuju gunung langgar
Joko Suryo mencari berita dari kampung ke kampung, dari dusun ke dusun, dari desa ke desa, sampailah perjalanannya ke desa Blimbing, di desa ini banyak orang tua (sesepuh), seperti tokoh masyarakat dan Ulama’ untuk dimintai keterangan tentang silsilah dan kepribadian Si Bunga Desa itu. Setelah mendapatkan berita yang jelas tentang Si Bunga Desa Ningrum Anggraeni Setiasih, Joko Suryo kembali ke kampung Gunung Langgar dia berusaha untuk menyimpulkan berita demi berita yang diperoleh selama perjalanan satu minggu.
Pada Malam jum’at, sesuatu menghantui perasaan dan pikirannya yang selama ini tidak pernah dirasakan perasaan bingung, gelisah, gundah berkecamuk dalam dirinya, tidak dapat tidur sampai jam 00.00, untuk menepis kegelisahan, Joko Suryo segera mengambil air wudzu untuk melaksanakan shalat malam, guna mendekatkan diri kepada Allah memohon ketenangan hati dan pikirannya.
Suara adzan shubuh berkumandang, Joko Suryo tidak terasa bahwa dirinya telah duduk berdzikir dan takarrup mendekatkan diri kepada Allah. Setelah menjalankan shalat shubuh hatinya tergerak ingin bertemu Si Bunga Desa Ningrum Anggraeni Setiasih.
“Seperti apa ya... Ningrum itu, wajahnya, pribadinya, sombongkah dia, kalau tidak sombong kenapa empat puluh laki-laki yang ingin menyuntingnya tidak mendapat simpatinya, atau harta benda untuk persyaratan maskawin tidak dapat dipenuhi, tapi....dari berita bahwa Joyo Suro yang kaya raya juga ditolak, aku anak petani desa tidak memiliki apa-apa, lalu apa yang aku andalkan untuk menyunting si bunga desa, ah... mustahil aku diterima, tapi... jodoh ditangan Tuhan, siapa tahu dengan usaha yang keras dan berdo’a terus menerus aku bisa menjadi jodohnya, yahh... aku jadi ngelamun.” Joko Suryo berkata sendiri, menghayal di atas sajadahnya yang sudah kusam.     
Siang hari yang cukup panas, Joko Suryo mulai melangkahkan kaki dari rumah gubugnya, dia berjalan menuju rumah mbok rondo Sumirah, berniat untuk melamar putrinya si cantik bunga desa Ningrum Anggraeni Setiasih, perjalanan ditempuh dua jam, melewati semak belukar dan mengikuti kelok-kelok kaki gunung yang menanjak naik turun, sesampai depan rumah mbok rondo Sumirah, Joko Suryo memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah mbok rondo Sumirah.
“Assalamu’alaikum...!” kata Joko suryo seraya mengetuk pintu dengan hati-hati.
“Wa’alaikum salaam...!” jawab mbok rondo Sumirah dari dalam rumah sambil membuka pintu, “Silahkan masuk tuan..., ada keperluan apa tuan...?” tanya Mbok rondo Sumirah.
“Apa benar bu..., ini rumah Ningrum Anggraeni Setiasih ?” sahut Joko Suryo dengan kepala merunduk malu.
“Ya benar tuan... ini rumahnya, ada keperluan apa dan siapa tuan ini?” tanya mbok Sumirah lagi.
Dengan merundukkan kepala dan malu-malu Joko Suryo menjawab “Saya Joko Suryo bu, dari Dusun Gunung langgar, saya..ingin bertemu putri ibu ?”
Mbok Sumirah melihat sosok Joko Suryo seluruh tubuhnya gemetar, jantungnya dag dig dug, mengingatkan dirinya saat bertemu pertama kali mendiang suaminya Raden Mas Kabejan, sosok Joko Suryo yang pakai baju koko melayu, berkopyah hitam, pakai sarung putih dan postur tubuhnya yang tinggi tegap mirip dengan suaminya. Mbok Sumirah memersilahkan masuk sambil membuka pintu lebar-lebar.
Joko Suryo masuk rumah, lalu dipersilahkan duduk, Mbok rondo Sumirah memberitahu kepada Joko Suryo bahwa sejak waktu asar putrinya pergi mengaji di langgar Mbah Kyai Majedi dan pulang menjelang magrib. Joko Suryo diminta untuk menunggu sebentar karena Ningrum hampir pulang.
Joko Suryo menuruti apa yang diminta Mbok Sumirah, dia duduk di kursi ruang tamu menunggu dengan berharap cemas matanya memandangi dinding-dinding gedheg (dinding dari bambu yang dianyam) dan atap rumah yang terbuat dari welit (daun lontar yang dianyam).
Ningrum Anggraeni Setiasih pulang ngaji dari langgar Mbah Kyai Majedi, tempatnya tidak jauh dari rumahnya, jalannya santai bak peragawati, kerudung putihnya menutupi seluruh rambut sehingga wajah Ningrum tampak bersinar, baju kebayak yang dipakai cukup sederhana warna putih bersih, jarik/sewek (sarung wanita) yang dikenakan batik lasem sangat serasi dengan postur tubuhnya yang tinggi semampai, Qur’an didekap di dadanya, Ningrum menuju rumah, dia nampak terkejut, biasanya sepulang dari ngaji pintu rumahnya tertutup, kini terbuka lebar dalam benaknya bertanya-tanya ada apakah kiranya, setelah mendekati pintu rumah, pelan-pelan kaki kanannya masuk bibir pintu sambil mengucapkan salam, terkejutlah Ningrum, melihat seorang lelaki duduk di ruang tamu, Ningrum menundukkan kepala seraya berkata
“Assalamu’alaikum, mohon maaf Tuan...”. Ningrum berjalan lurus menuju ruang tengah menemui ibunya yang sedang duduk-duduk menunggu kedatangannya. Joko Suryo melihat sikap dan tutur kata Ningrum yang begitu santun, matanya jadi bening, darahnya serasa mengalir disekujur tubuh, menggerakkan jantungnya yang tambah deg-degan.
Di ruang tengah mbok Sumirah bercakap-cakap dengan putrinya:
“Anakku Ningrum, kamu anak satu-satunya yang kusayangi, mendiang ayahmu berpesan agar kamu berjodoh dengan orang yang lurus budi pekertinya, lelaki yang sholeh, rajin ibadah dan taat orang tua, Ningrum...,! sudah empat puluh lelaki yang melamarmu, namun semua kau tolak karena tidak sanggup memenuhi persyaratan yang kamu ajukan, semoga lelaki diruang tamu adalah lelaki ke empat puluh satu dapat memenuhi persyaratan yang kamu ajukan, Ningrum anakku, ketika aku melihat dia saat membukakan pintu, aku teringat mendiang ayahmu postur tubuhnya yang tidak tinggi dan tidak pendek, kulitnya yang seperti sawo ranum, sikap, gerak geriknya dan tutur katanya seperti jelmaan ayahmu, ayo nak, kita temui tamu itu karena sudah lama menunggu kehadiranmu!”. Pinta mbok Sumirah dengan memelas.
Ningrum segera meletakkan kitab suci al qur’an yang sejak tadi didekap didadanya lalu bersama Mbok Sumirah menemui tamu itu. Ningrum duduk didampingi ibunya di kursi panjang, ningrum duduk ngapu rancang dengan malu menatap Joko Suryo, kepala menunduk dan matanya menatap lantai tanah di kakinya, tangan kiri digenggam erat dengan tangan kannya diletakkan pada pangkuanya, mbok Sumirah mulai membuka suara dengan hati-hati:
”Hemm.. siapa nama kamu tadi,?” maaf ya tuan, maklum orang tua sedikit-sedikit lupa?”. tanya mbok Sumirah gugup.
Joko Suryo yang sejak tadi bibirnya terkunci kaku menjawab gugup juga dengan suara lirih “Nama saya Joko Suryo mbok,!” dari dusun Gunung Langgar Desa Solokuro”.
“Terus, punya maksud apa tuan datang kesini?” tanya mbok Sumirah
“Pertama saya ingin silaturrahim dan kedua saya ingin bertemu putri mbok yang bernama Ningrum Anggraeni Setiasih, apa benar ini putri mbok yang paling cantik, anggun, dan mempesona semua orang itu?” kata Joko suryo memuji
Mendengar pujian Joko Suryo Ningrum jadi malu dan bibir mungilnya tersenyum manis, sikapnya tersipu-sipu.
“Ah, bisa saja tuan Joko Suryo ini memuji, ini anakku satu-satunya, biasa-biasa saja seperti perempuan lain tidak ada yang istimewa pada dirinya” kata mbok Sumirah berkilah.
Ningrum yang malu-malu dan menundukkan kepala dicuri pandang oleh Joko Suryo, dalam hati joko suryo bergumam “Betapa untungnya kalau aku dapat hidup bersama Ningrum, wajahnya mempesona, tutur katanya lembut dan sikapnya yang sopan santun, pantas disebut bunga desa!”.
“Apa yang sedang tuan pikirkan, mengapa diam saja ?” tanya mbok Sumirah melihat Joko Suryo tertegun.
“Ah...a...anu mbok, gak ada pa..pa, Cuma mau.. mau.. ngomong sedikit”. Jawab Joko Suryo kalimatnya tak beraturan.
Mendengar suara Joko Suryo tertatih tatih, Ningrum malah tersenyum tanganya yang tergenggam jadi lepas untuk menutupi bibirnya, karena takut senyumnya berubah jadi tertawa lebar.
“Ya.. silakan bicara tuan, gak perlu gugup toh disini hanya bertiga, gak usah sungkan-sungkan“ sahut mbok Sumirah.
Suasana hening sejenak, karena Joko Suryo terdiam, dalam hatinya sedang merangkai kata-kata yang tepat untuk diucapkan, sinar matahari dari arah barat sudah mulai redup, warna merah jingga menghias cakrawala langit penanda hari menjelang petang, debur ombak utara rumahnya memecah tepian pantai,  ayam mbok Sumirah satu persatu mulai masuk kandang, beberapa orang nelayan pulang dari melaut lewat depan rumah mbok Sumirah, ada yang berhenti sejenak melirik pintu rumah Ningrum, ada yang ingin sekedar melihat wajah Ningrum.
Setelah kata demi kata tersusun dalam benaknya, kalimat demi kalimat terangkai dihatinya, Joko Suryo dengan tekat bulat menyampaikannya:
“Mbok Sumirah yang baik hati, pertama saya mohon maaf apabila kedatangan saya ke sini mengganggu ketentraman mbok bersama putri Ningrum Anggraeni Setiasih, kedua..., sebelum saya menyampaikan uneg-uneg yang mengganggu hati dan perasaan saya, saya ingin memperkenalkan diri, terus terang saya ini orang tidak memiliki harta benda, saya baru satu minggu bekerja sebagai petani membantu orang tua di ladang, ayah saya namanya Sayyid Purnomo bekerja sebagai petani dan dipercaya oleh warga menjaga ketentraman, ‘Nama Ibu saya Brangsi, mbok...?, saya sudah mendengar cerita dari warga bahwa putri mbok yang bernama Ningrum Anggraeni Setiasih sudah dilamar empat puluh lelaki tapi mereka semua pulang dengan tangan hampa, persyaratan apakah kiranya atau maskawin apa yang diharapkan putri mbok sehingga tidak dapat dipenuhi oleh mereka, mohon maaf, saya kesini berniat melamar putri mbok, namun saya orang miskin tidak memiliki harta benda, apabila persyaratan yang diajukan terlalu berat saya mohon diri, apabila  mampu aku penuhi dengan menjual sawah ladang orang tuaku maka aku akan minta ijin untuk menjualnya, demi persyaratan maskawin yang diminta putri mbok, mbok..., dengan mengucapkan bismillahirrohmanirrohim, pada hari ini saya melamar putri mbok yang bernama Ningrum Anggraeni Setiasih”. Tutur Joko Suryo dengan santun.
Mbok Sumirah menatap anak kesayangan dengan haru, setelah itu menatap wajah Joko Suryo yang nafasnya tersengal dadanya turun naik lalu katanya:
“Tuan Joko Suryo yang baik, apa yang telah Tuan sampaikan yang bisa menjawab hanya anakku,!” Ningrum..., kamu sudah mendengar maksud dan tujuan Tuan Joko Suryo kesini yaitu hendak menyunting kamu sebagai pendamping hidup selamanya, tolong sampaikan kepada Tuan Joko Suryo, persyaratan sekaligus sebagai maskawin apa yang kamu harapkan, sehingga Tuan Joko Suryo berusaha sebaik-baiknya, apakah sama dengan pelamar-pelamar lain yang tidak sanggup memenuhinya ataukah ada persyaratan khusus yang lain yang diperuntukkan untuk Tuan Joko Suryo?” kata mbok sumirah
Ningrum terdiam membisu, tiba-tiba kelopak matanya berkaca-kaca, kepalanya merunduk menatap jari tangan yang dipermainkan sejak tadi, dadanya turun naik, nafasnya terhembus keluar masuk, dengan suara lirih patah-patah Ningrum membalas pertanyaan mbok Sumirah sekaligus jawaban untuk Tuan Joko Suryo:
“Mbok..., yang saya sayangi, Tuan Joko Suryo yang saya hormati, apa yang saya syaratkan kepada Tuan, sama dengan pelamar sesudahnya, saya juga orang tak punya, ayahku meninggal sejak aku masih bayi, saya tidak mengharapkan harta benda, kejantanan, jabatan, atau pangkat, saya ingin seorang suami shaleh dapat mengaji, taat orang tua patuh kepada Allah, adapun persyaratan sekaligus maskawin adalah dapat membaca dan menghafal Qur’an Surat Yasin”. Kata Ningrum dengan mengusap air mata yang jatuh dipipinya.
Mendengar persyaratan yang dituturkan Ningrum, mbok Sumirah hanya bisa diam dan deg-degan, sedangakan Joko Suryo mendengar apa yang diucapkan Ningrum bagai petir menyambar di kepalanya, keringat dingin mengalir dari keningnya, bulu-bulu kulitnya berdiri merinding, namun hatinya tenang bahwa apa yang disyaratkan Ningrum sudah dapat dipenuhi karena Joko Suryo lima tahun ngaji / mondok di Banten telah hafal beberapa surat dalam Al Qur’an, Joko Suryo mengusap keringat yang jatuh dikeningnya dengan telapak tangan, lalu katanya:
“Putri Ningrum dan mbok Sumirah yang saya hormati, persyaratan sekaligus maskawin yang disampaikan sangat berat, sekarang saya baru mengerti bahwa empat puluh pelamar gagal karena persyaratan itu baru kali ini aku jumpai, kemudian kira-kira kapan persyaratan dan maskawin itu harus disampaikan atau dibacakan?”Tanya Joko Suryo.
“Tuan Joko Suryo yang saya hormati, setiap pelamar punya kesempatan tiga hari, apabila sanggup memenuhi, datanglah kesini dalam tempo tiga hari dan apabila selama tiga hari Tuan tidak datang kesini berarti sudah tidak ada harapan untuk berjodoh, empat puluh pelamar yang keberatan dengan persyaratan itu banyak yang tidak kembali dalam tempo tiga hari, mohon maaf ya Tuan, ini bukan permintaan mbok, tapi permintaan dari hati nurani saya sendiri” Jawab Ningrum menegaskan.
Karena waktu maghrib sudah hampir tiba, Joko Suryo pamitan pulang:
“Mbok Sumirah dan Putri Ningrum yang saya hormati, karena waktu menjelang maghrib, saya mohon diri untuk pulang dan apabila selama tiga hari saya tidak datang, berarti saya telah gagal melamar putri mbok dan mohon dilupakan serta dimaafkan atas kunjungan saya telah mengganggu ketenangan mbok dan putri Ningrum!”. Joko Suryo lalu berdiri membungkukkan badan seraya merudukkan kepala keluar dari rumah mbok Sumirah, “Assalamu’alaikum Warahmatullaahi wabarookaatuh” kata Joko Suryo.
“Wa’alaikumsalam Warahmatullaahi wabarookaatuh!” Jawab mbok Sumirah dan Ningrum bersama-sama.
Joko Suryo baru melangkahkan kaki tiga langkah, sayup-sayup dari  surau mbah kyai Majedi suara adzan berkumandang, Joko Suryo menyempatkan diri untuk mampir menunaikan shalat maghrib di surau itu, melihat orang baru yang ikut berjamaah di musholla kecil itu, para jamaah memandanginya dengan penasaran, setelah Joko Suryo mengambil air wudzu lalu bersalaman dengan para jamaah kemudian berdiri untuk melaksanakan shalat sunnah dua rakaat.
Setelah melaksanakan shalat maghrib berjamaah Joko Suryo melakukan perjalanan pulang, malam gelap tanpa sinar bulan, jalan yang penuh semak belukar dilaluinya dengan senang hati, Joko Suryo berjalan melalui tepi gunung, pikirannya melayang pada peristiwa yang baru saja terjadi, dalam hati kecilnya sangat bangga, bahwa optimis persyaratan Bunga Desa pasti dapat dipenuhi dan bibirnya sempat bergumam: “ Akulah diantara lelaki yang ke empat puluh satu yang berhasil menyunting Ningrum Anggraeni Setiasih, Akulah...ibarat ular naga yang besar dan semua laki-laki pelamar yang gagal adalah ular-ular kecil,” gumam Joko Suryo, tidak terasa bahwa apa yang diucapkan adalah perangai yang sombong, tiba-tiba ditengah perjalanan kakinya terpaku sejenak tepat di depan goa, kepala Joko Suryo berpaling ke arah goa itu, matanya menatap tajam di mulut goa, seperti ada sinar cahaya merah api keluar dari dalam lalu hilang lagi dengan sekejab mata. Joko Suryo jadi takut dan cemas, langkah kakinya dipercepat agar lekas sampai di rumah, tak terasa perjalanan yang penuh liku-liku  melelahkan membuat ciut hatinya.
Suasana dusun Gunung langgar dingin mencekam, suara jangkrik, belalang dan katak jadi nyanyian alam, dari jauh sesekali terdengar lolongan anjing membuat merinding bulu kuduk Joko Suryo, bunyi kitiran di atas bukit gunung langgar memecah kesunyian. Sampai di rumah Joko Suryo merebahkan tubuhnya di atas kloso (tikar daun lontar) karena capek, kemudian ayah dan ibunya menghampirinya, Joko Suryo menceritakan semua peristiwa kepada orang tuanya:
“Ayah dan Ibu maafkan Joko Suryo, karena pulang larut malam!” pinta Joko Suryo air matanya meleleh.
“Tidak apa nak, aku maafkan, lama sekali perjalanannya?, apa ada yang mengganggumu saat perjalanan?” tanya ayahnya.
“Tidak ada yang ganggu ayah..., cuma tadi di tengah perjalanan Suryo  menjumpai goa yang mengeluarkan cahaya merah api, cahaya itu muncul sekejab mata lalu hilang lagi, itu cahaya apa ayah?” tanya Suryo.
“Suryo..., tak seorangpun pernah melihat cahaya di goa itu kecuali kamu anakku, sesepuh desa Blimbing yang dapat melihat masa depan pernah bercerita kepada ayah bahwa gunung yang kamu lewati itu kelak akan bercahaya terang di malam hari, cahaya itu bersinar untuk rumahnya sendiri, sedangkan rumah disekitarnya tidak pernah mendapatkan cahaya, adapun sinar cahaya yang kamu temui itu...! (ayah Suryo tak kuasa melanjutkan filsafat itu karena sudah mengerti bahwa cahaya yang ditemui putranya merupakan firasat buruk yang menimpa Suryo). “cahaya yang saya temui itu mengapa, kok tidak dilanjutkan ayah!” sahut Joko Suryo penasaran.
Sayyid Purnomo menarik nafas dalam lalu melanjutkan cerita yang terkait dengan cahaya, sedangkan cahaya yang ditemui putranya diputus untuk tidak diceritakan karena terkait dengan masa depan putranya yang suram.
“Maksudnya, nanti apabila zaman sudah mengalami kemajuan, gunung songgo dulang akan menjadi tempat bangunan yang megah, bahan bangunan diambil dari gunung itu, batunya habis dikelola menjadi kekayaan, manusia yang mengelola hidupnya makmur, sedangkan orang-orang yang hidup disekitar gunung tidak dapat menikmati hasil pengelolaan gunung itu, ayah sudah ngantuk nak Suryo, mau tidur dulu!” jawab ayahnya menghibur.
“terimakasih atas penjelasan ayah!, Suryo juga sudah ngantuk, tapi perlu saya sampaikan sedikit tentang perjalanan saya, setelah bertemu dengan putri mbok Sumirah, diberi waktu tempo tiga hari menghafal Qur’an surah Yasin, alhamdulillah Suryo sudah hafal, tinggal mefasihkan bacaan saja!” kata Joko Suryo.
Waktu yang disepakati oleh kedua belah pihak antara keluarga Ningrum dengan keluarga Joko Suryo telah tiba, hari itu awan hitam menyelimuti bumi, halilintar menggelegar disela-sela hamparan langit, bumi nampak gelap, Joko Suryo bersama kedua orang tuanya berangkat menuju rumah mbok Sumirah, meskipun diiringi awan hitam pekat, kilat menyambar-nyambar dan halilintar menggelegar diangkasa, Joko Suryo bersama kedua orang tuanya bertekat bulat melaksakan perjalanan menuju rumah Ningrum.
Sore itu Ningrum dan mbok Sumirah menunggu harap-harap cemas, khawatir apa yang telah disepakati kedua belah pihak tidak dapat terlaksana, melihat situasi dan kondisi demikian itu, awan hitam yang bergelayutan di langit, kilat yang menjilat-jilat wajah bumi dan suara halilintar yang bercengkrama membuat mbok Sumirah ciut hatinya, Ningrum sejak tadi mondar-mandir dalam rumah, kadang duduk, berdiri, duduk lagi, berdiri lagi, kadang saking penatnya tubuhnya direbahkan di atas ranjang tidur terbuat dari bambu digelari tikar kloso “Grobyak...!”, matanya berkaca-kaca menatap langit kelabu yang mengintip sela-sela genteng, karena yang ditunggu belum juga datang.
“Mbok... mungkinkah Tuan Joko Suryo akan datang?”, tanya Ningrum kawatir.
“Ningrum... kalau memang Allah menakdirkan bertemu, pasti akan datang, kita berdoa saja semoga Tuan Joko Suryo bisa datang walaupun keadaan cuaca sangat buruk!” hibur mbok Sumirah dengan iba.
Karena petir semakin mengamuk dan halilintar menggelegar diruang angkasa, pintu rumah mbok Sumirah ditutup, namun tidak lama ada yang mengetuknya:
“Tok...tok...tok..., assalamu’alaikum...”, kata Joko Suryo seraya mengetuk pintu
“Wa’alaikum salaam...,silakan masuk, tuan...”, jawab mbok Sumirah lalul membuka pintu.
Joko Suryo bersama kedua orang tuanya masuk rumah dan disilakan duduk oleh bok Sumirah, ketika Joko Suryo bersama kedua orang tuanya duduk, mbok Sumirah masuk kamar menemui Ningrum wajahnya nampak berseri seri:
“Ningrum... anakku... Tuan Joko Suryo sudah datang, mari kita temui”, kata mbok Sumirah.
“Ya mbok, aku malu mbok, hatiku deg-degan, kok gini ya mbok mau ketemu Tuan Joko rasanya beda dengan tuan-tuan yang pernah kutemui, perasaanku jadi gak karuan dan pikiranku terasa bergoncang seperti cuaca hari ini.” Jawab Ningrum.
“Kenapa...?, ya sudah ayo kita temui nanti keburu hujan”. pinta mbok Sumirah
Mbok Sumirah dan Ningrum menemui tamu agung di ruang tamu, kedua orang tua Joko Suryo melihat Ningrum ibarat bidadari turun dari langit, karena baru ini melihat seorang gadis yang paling cantik, anggun, luwes, sopan santun dan ramah tamah.
Sayyid Purnomo, Brangsi dan mbok Sumirah beramah tamah, kemudian mbok Sumirah meminta kepada Ningrum untuk menyampaikan kesepakatan yang telah dipegang teguh oleh kedua belah pihak, Ningrum meminta kepada Tuan Joko Suryo untuk menghafalkan Qur’an surah Yasin, Joko Suryo dengan hikmad menghafalkan surah Yasin, orang tua Ningrum dan orang tua Joko Suryo hanya mendengarkan dengan diam sejuta kata, Ningrum mendengarkan apa yang dibaca dan dihafalkan Joko Suryo dengan duduk termenung, sambil merundukkan kepala, sesekali melihat bibir Joko Suryo yang komat kamit melantunkan ayat-ayat qur’an itu, tapi ketika Joko Suryo menatap wajah Ningrum, ningrum segera merunduk, begitu seterusnya kadang-kadang saling berpas-pasan menatap wajahnya dan berbarengan merunduk, tatkala hafalan pada ayat ke lima puluh surah yasin yang bunyinya “ FALAA YASTATHI’UUNA TAUSHIYATAN WALAA’ILAA AHLIHIM YARJI’UUNA”. Ningrum lengah hatinya. karena memandang Tuan Joko Suryo penuh nafsu sehingga nafasnya terhembus keras, sampai ayat ke lima puluh terlewatkan, tidak terbaca oleh Joko Suryo akibat hembusan nafas Ningrum mendengus keras. Joko Suryo tidak merasa bahwa yang dihafal/dibaca kurang satu ayat, bacaan terus berlanjut hingga ayat ke delapan puluh tiga surah yasin.
Setelah hafalan selesai, semua yang ada dalam rumah tersebut mengucapkan kalimat “Alhamdulillahirobbil’aalamiin”.
Usai membaca surah yasin, hujan turun deras sekali, halilintar mulai mengendurkan suaranya, petir yang menjilat-jilat muka bumi makin sirna, matahari di ujung barat cakrawala merona merah penanda hari menjelang petang.
“Bagaimana Ningrum keputusan kamu, apakah persyaratan sudah terpenuhi !” tanya Mbok Sumirah.
“Ya mbok, persyaratan sudah tercapai dan Tuan Joko telah memenuhinya, saya silakan mbok bersama kedua orang tua Tuan Joko Suryo untuk berunding masalah hari pernikahan.” Jawab Ningrum, lalu Ningrum masuk ke kamarnya.
Dalam kamar ukuran luas empat meter, ranjang ukuran dua kali satu setengah meter, Ningrum merebahkan tubuhnya di tempat tidur, hatinya diliputi kegalauan, perasaan dan pikirannya menerawang jauh ke depan bayangan-bayangan menjadi pengantin menyelimuti benaknya.
Untuk mendapatkan mufakat diantara kedua belah pihak mbok Sumirah dengan kedua orang tua Joko Suryo berjalan alot, pihak keluarga Joko Suryo meminta pernikahan dilaksanakan di rumahnya Dusun Gununglanggar (sekarang:Siman raya), sedangkan pihak mbok Sumirah meminta dilaksanakan di rumahnya, karena hujan sudah reda musyawarah ditunda tiga hari mendatang,  Joko Suryo bersama kedua orang tuanya pamitan pulang.
Pada malamnya mbok Sumirah dan Ningrum silaturrahim ke rumah seorang alim mbah kyai Majedi, untuk menyampaikan hasil musyawarah yang belum menemukan mufakat :
“Mbah yai, anakku Ningrum tadi sore dilamar oleh seorang laki-laki dari dusun Gununglanggar namanya Tuan Joko Suryo, anakku telah memberikan persyaratan-persyaratan dan sekaligus sebagai maskawin kepadanya dan telah dipenuhi persyaratan itu, namun saat menentukan hari  dan tempat pernikahan kami mengalami kesulitan, mohon mbah kyai memberikan jalan keluar.” Kata mbok Sumirah memohon.
“Sebelumnya saya mohon maaf, saya mau tanya kepada Ningrum, anakku Ningrum...kamu adalah seperti anakku sendiri santriku yang rajin dan tekun mengaji, apakah pada saat Tuan Joko Suryo membacakan persyaratan yang kamu minta sudah sempurna?” tanya mbah kyai Majedi.
“Insya Allah sudah mbah...”. jawab Ningrum yakin
“Sebab kalau ada yang kurang dalam memberikan maskawin akan berakibat tidak baik dalam pernikahan nanti”. Tutur mbah kyai Majedi.
“Sudah lengkap mbah, bacaanya sangat baik dan benar!” kata Ningrum bersemangat.
“Kalau menurut kamu sudah sempurna baiklah, tapi manusia tidak ada yang sempurna, hanya Allah yang maha tahu atas segalanya, masalah hari pernikahan kapan saja bisa dilaksanakan, karena Allah menciptakan hari, bulan, tahun, dan waktu tidak ada yang buruk karena Allah yang mengendalikan semua,  keburukan itu diakibatkan oleh ulah manusia sendiri, semua hamparan bumi dan bentangan langit seisinya diciptakan untuk manusia, saya hanya memberi nasihat kepada kalian, musyawarahlah bersama untuk mendapatkan jalan keluar yang baik ”kata mbah kyai Majedi menasihati.
Setelah mendapat nasihat dari mbah kyai Majedi, mbok Sumirah bersama putrinya pamitan pulang, esok harinya kedua orang tua Joko Suryo datang silaturrahmi ke rumah mbok Sumirah, ingin musyawarah lagi dalam menentukan hari pernikahan dan lokasi tempat nikah yang kemarin tertunda. Kedua belah pihak bermusyawarah dengan hati tenang pikiran jernih, maka disepakati bahwa hari pernikahan ditentukan pada tanggal empat belas Dzulhijjah, pukul enam malam, tepatnya malam bulan purnama, adapun lokasi akad nikah sekaligus resepsi pernikahan tidak diletakkan di rumah mempelai laki-laki juga tidak di rumah mempelai perempuan tetapi berada di tengah-tengah antara keduanya yakni di goa gunung songgo dulang.
Joko Suryo menunggu waktu tujuh hari bagai tujuh tahun lamanya, waktu digunakan untuk bermunajat kepada Allah SWT, memohon perlindungan dan keberkahan atas pernikahannya, begitu juga Ningrum Anggraeni Setiasih berharap-harap cemas, senantiasa memohon agar dapat berjodoh dengan Joko Suryo tanpa halang rintang, pada malam jum’at tiga hari sebelum hari pernikahan Joko Suryo mimpi, goa yang menjadi lokasi pernikahan itu bercahaya terang benderang seakan akan sudah terjadi pernikahan dan sinar cahaya itu menjilat tubuhnya dan tubuh Ningrum.
Hari pernikahan yang dinanti-nanti pun tiba, tanggal empat belas dzulhijjah merupakan hari yang cerah, kedua mempelai bersama keluarga dan handai tolan sibuk mempersiapkan segala keperluan untuk nikah, keluarga Joko Suryo sudah mempersiapkan makanan dan berbagai macam buah-buahan, semuanya diletakkan diatas dulang (talam/nampan yang terbuat dari kayu jati) dan akan mengerahkan pengiring laki-laki dan perempuan sebanyak lima puluh orang.
Pihak keluarga Ningrum Anggraeni Setiasih beserta sanak famili juga sibuk mempersiapkan properti pernikahan, Ningrum sudah dipersiapkan oleh Ibunya pakaian adat tiongkok, busana oleh-oleh mendiang ayahnya waktu masih hidup, konon busana pengantin itu diperoleh ayahnya hadiah dari orang tiongkok yang sedang berlayar mengarungi samudra, ketika tiba di selat Bawean utara laut Jawa dirampok oleh bajak laut, kebetulan Raden Mas Kabejan memancing ikan dan mengetahui peristiwa tersebut ditolonglah orang Tiongkok itu, dengan rasa terimakasih atas pertolongan Raden Mas Kabejan, orang tiongkok tersebut memberi hadiah berupa busana dan beberapa alat dapur seperti mangkok, piring, gelas dan lain-lain, (pada tahun 1980 ketika dilakukan pembuatan pondasi Sekolah SDN Blimbing 1 ditemukan beberapa piring dan mangkok asal tiongkok, sebagian pecah terkena linggis dan sebagian disimpan oleh Bapak Abdul Manan selaku Kepala Sekolah di sekolah tersebut).
Ketika orang tiongkok memberi hadiah kepada Raden Mas Kabejan, sempat berpesan, agar busana tersebut tidak digunakan untuk upacara apa saja, akan mendapat keberuntungan apabila digunakan bepergian atau berdagang.
Ningrum Anggraeni Setiasih dirias ibunya dengan busana tiongkok dari mendiang suaminya, tanpa ragu dan senang hati busana itu dilekatkan pada tubuh putrinya, setelah memakai busana itu paras Ningrum Anggraeni Setiasih jadi berubah tambah cantik, busana itu dilihat oleh mbok Sumirah tak berkedip agak lama, tampak didepan busana seperti muncul gambar ular naga hidup, begitu juga saat putrinya diminta berpaling ke belakang, juga muncul gambar yang sama, mbok Sumirah tertegun sejenak dengan kejadian itu seraya merenung.
“Ada apa mbok, kok diam gak dilanjutkan meriasnya, sanggulnya kok belum dipasang?” tanya Ningrum.
“Ah! gak ada apa-apa, cuma melamun, tadi aku melihat seperti ada sesuatu di busana yang kamu pakai ini, oh iya, sanggulnya belum dipasang, baiklah kulanjutkan meriasnya!”, jawab mbok Sumirah sambil memasang sanggul putrinya.
“Mbok jangan melamun terus nanti bisa kemasukan setan, itu perasaan mbok sendiri karena putri mbok semakin cantik kan”? sahut Ningrum dengan sedikit bangga pada dirinya.
Mbok Sumirah melanjutkan riasnya, beberapa orang yang menjenguk Ningrum baik familinya maupun tetangganya saling berkomentar bahwa wajah Ningrum berbeda dengan sebelumnya, tambah cantik mempesona, saking cantiknya setiap orang yang melihat wajah Ningrum seperti transparan.
Selesai merias, mbok Sumirah memanggil semua sanak famili dan tetangganya untuk berkumpul menyiapkan pemberangkatan menuju goa lokasi pernikahan, sebanyak lima puluh orang baik laiki-laki maupun perempuan dikerahkan.
Hari itu mbah kyai Majedi tidak dapat memenuhi undangan mbok Sumirah karena ada udzur sedang ada urusan ke luar negeri, sebagai gantinya mengutus penjaga Musholla diminta untuk ikut mendampingi dalam upacara nikah.
Pukul tiga sore tanggal empat belas Dzulhijjah merupakan hari sakral, hari bersejarah bagi keluarga mbok Sumirah dan keluarga Sayyid Purnomo, kedua keluarga berangkat dari rumah masing-masing menuju lokasi pernikahan, Joko Suryo beserta kedua orang tuanya diikuti lima puluh pengiring berjalan menuju Goa, Ningrum Anggraeni Setiasih bersama mbok Sumirah dan lima puluh pengantar pengantin juga berangkat menuju Goa, pengiring perempuan dari pihak mempelai laki-laki maupun perempuan membawa makanan adat, seperti nasi kuning (punar), nasi gurih, nasi uduk, nasi buli, tumpeng, ada juga jajan pasar berupa saplak, blendung, sisir, gathot, gemblong menyok, gethuk bolet, enchi, ketan orean, ketan lempok, ketan salak, juga makanan ringan seperti rempeyek, rengginang, kucur, apem embuk, onde-onde, lemet, lemper, wingko, gemblong, nagasari dan lainya, semua makanan diletakkan dalam dulang, jalan yang dilalui pengantin wanita menuju Goa sekarang diabadikan menjadi Jalan GOA (Jawa : Gowah).
Ù    Jalan Gowah
Kedua mempelai menuju goa diiringi kesenian tonglek (Patrol) yang ditabuh oleh pengiring laki-laki, menjelang surup (petang) pengantin laki-laki lebih dulu datang di lokasi baru kemudian mempelai perempuan, kedua mempelai beserta rombongan berhenti di depan mulut goa, suasana menjadi sunyi setelah iringan kesenian patrol berhenti ditabuh.
Gunung songgo dulang yang tertidur pulas gelap tanpa sinar matahari, wajah bulan purnama membelalakkan matanya lebar-lebar, tak berkedip sedikitpun, penanda bulan purnama menyembulkan sinarnya seantero jagat raya, gunung songgo dulang dan sekitarnya terang benderang, bulan purnama menjadi saksi bisu pernikahan Joko Suryo dengan Ningrum Anggraeni Setiasih.
Penghulu Raden Fakih hadir bersama modin Basyar, keduanya memasuki goa yang remang-remang hanya beberapa obor menyala, kemudian mbok Sumirah menjadung (menarik kedua pengantin dengan gendhong), gendhong dikalungkan ke tubuh kedua mempelai mbok Sumirah berada didepan nya, memasuki goa, dibelakang kedua mempelai diikuti orang tua Joko Suryo, dibelakangnya lagi kerabat dekat, kedua mempelai masuk goa didudukkan di atas batu menyerupai kursi kerajaan, letaknya agak tinggi sedikit kira-kira lima puluh centimeter dibanding tempat duduk yang lain. seluruh makanan dalam dulang dimasukkan goa.
Penghulu dan Modin berdiri dihadapan pengantin lalu membacakan semua catatan nikah yang ditulis dengan huruf pego (tulisan arab berbahasa jawa), setelah catatan dibaca dan dibenarkan oleh kedua mempelai beserta saksi serta kerabat tentang identitas mempelai beserta silsilahnya, Penghulu Raden Fakih memulai upacara akad nikah, dengan menjabat tangan Joko Suryo :
Joko Suryo bin Sayyid Purnomo, saya nikahkan kamu dengan seorang gadis bernama Ningrum Anggraeni Setiasih binti Raden Mas Kabejan dengan maskawin hafalan al qur’an surah yasin dibayar tunai!” Ijab Penghulu Raden Fakih.
“Saya terima nikah dengan seorang gadis bernama Ningrum Anggraeni Setiasih binti Raden Mas Kabejan dengan maskawin hafalan qur’an surah yasin dibayar tunai”. Qabul Joko Suryo.
Akad nikah dinyatakan “syah” oleh saksi dan yang hadir menyaksikan ijab qabul yang baru saja berlangsung dengan penuh khidmad, dilanjutkan  membaca doa oleh modin Basyar:
“Ya Allah yang Maha pengasih lagi Maha penyayang, semoga pengantin yang telah resmi menjadi suami istri ini di..di....di...disambar ular na...na...naga....ach...”! suara modin Basyar terserak dan macet kemudian pingsan.
Bersamaan dengan bacaan doa yang salah kaprah, tiba-tiba ular naga yang sangat besar keluar dari belakang goa menyambar kedua mempelai  menelan dan menyedot keduanya, sekejab mata ular naga raksasa itu lenyap, kontan saja seluruh yang hadir menjerit histeri sambil berteriak “nagaaaaa...!, nagaaaaaa....!. nagaaaaaa..........!” semua orang dalam goa berhamburan keluar.
Mbok Sumirah tak kuasa menahan tangis, akhirnya melompat keluar goa merangkak naik di atas goa, matanya melotot kesemua arah sambil berteriak sekuat tenaga menyebut-nyebut nama putri dan menantunya, berharap ular itu dapat keluar dari goa mengembalikan kedua pengantin, apa boleh dikata ular naga tak tampak dipelupuk mata mbok Sumirah, sehingga mbok sumirah tubuhnya kaku diatas goa, kedua kaki tak dapat dilepaskan dari batu yang diinjak, menjerit semakin keras kaki mbok Sumirah tambah tertelan semakin lama kedua kakinya tertelan sampai betis, air matanya mengalir tak kunjung berhenti, sampai tembus masuk ke dalam goa, tetesan demi tetesan air mata menjatuhi makanan di atas dulang, semua orang ingin menolong menyelamatkan mbok Sumirah tapi tak kuasa, kaki dan tubuh mbok Sumirah tidak mampu dicabut sampai menjadi batu, air mata itu terus netes tembus ke goa, dulang-dulang yang terkena tetesan air mata mbok Sumirah ikut membatu kemudian dulang yang membatu menjadi penyangga langit-langit goa, sehingga gunung itu diberi nama GUNUNG SONGGO DULANG dan goa yang terus menerus meneteskan air dijuluki GOA TRETES.
    
    1.Gunung Songgo dulang      2. Jalan setapak Goa Tretes    3. Mulut Goa Tretes

         
Ù Kondisi bagian dalam Goa Tretes
“Ini sebuah musibah saudara-saudara, kita tidak mengerti sebab musababnya, saya sudah berusaha menikahkan dengan benar sesuai aturan Agama dan Negara, Pak modin Basyar ketika membacakan doa sesudah nikah biasanya ya satu itu yang dibaca, Baarokallahu laka wabaaroka alaika wajama’a bainakuma fii khoirin, namun tadi ketika pak Basyar sadar dari pingsan beliau melihat ular naga yang besar keluar dari tubuh mempelai wanita seketika mulutnya tak mampu mengucapkan doa yang biasa dibaca, terasa berat dan seakan ada yang mengunci bibirnya, sehingga berat untuk mengucapkan, saudara-saudara kita prihatin dengan kejadian ini, keluarga dari Sayyid Purnomo mohon untuk bersabar, mbok Sumirah tidak dapat di tolong lagi, kita sudah berusaha dengan berbagai macam cara namun semakin lama tubuhnya semakin membatu, sekarang..., mari kita kumpul di depan Goa Tretes ini saya ingin saudara-saudara ikut membantu mencari kedua mempelai dalam keadaan hidup atau mati!”
Raden Fakih berdiri dihadapan semua orang untuk memberi pengarahan.
“Saudara-saudara, dalam bertugas nanti pengiring laki-laki dibagi menjadi sepuluh kelompok pasukan dan setiap kelompok ada sepuluh orang, disini ada lima puluh laki-laki, saya mohon besok mencari teman dari tetangga dekat tiap satu kelompok lima orang sehingga jumlah seluruhnya ada seratus orang, pengiring perempuan cukup dirumah saja, karena pekerjaan ini sangat berat biarlah yang laki-laki yang berjuang”. kata Penghulu Raden Fakih disela-sela kedukaan mereka.
“Tapi kemana saja kita harus mencari kedua mempelai Pak Penghulu, lalu siapa pimpinan kelompok pasukannya”. Tanya salah satu diantara pengiring.
“Baiklah, karena waktu sudah larut malam, kita kembali ke rumah masing-masing dan besok segera mencari teman, untuk pengiring keluarga dari Sayyid Purnomo yang jumlahnya dua puluh lima mencari tambahan pasukan dua puluh lima orang lagi, begitu juga untuk pengiring keluarga dari mbok Sumirah almarhumah agar mencari tambahan pasukan dua puluh lima orang sehingga jumlah semua pasukan seratus orang!” jawab Penghulu Raden Fakih.
Malam semakin mencekam, suara anjing menggonggong dimana-mana menambah angkernya suasana, sepanjang jalan Gowah belalang dan jangkrik ikut mengiringi langkah kaki kepulangan mereka, patrol yang ditabuh saat pemberangkatan pengantin tidak ditabuh lagi .
Masyarakat gempar mendengar kejadian itu, orang-orang membicarakan berita kematian mbok Sumirah dan lenyapnya pengantin, mereka yang gagal melamar Ningrum mengapokkan kejadian itu, yang lain marasa iba atas musibah yang menimpa mbok Sumirah.
Orang-orang yang menjadi pasukan baik dari pihak keluarga sayyid Purnomo maupun keluarga mbok Sumirah sudah mendapatkan tambahan pasukan sehingga jumlahnya seratus orang, mereka diminta berkumpul di surau Qabul tempat pasanggrahan yang dibuat mbah kyai Majedi untuk menggembleng santri-santri pendekar bela diri yang sekarang menjadi Masjid Maqbul. Penghulu Raden Fakih membagi tugas kepada pasukan-pasukan itu:
“Terimakasih, saudara-saudara telah hadir di surau Qabul ini dalam rangka mecari kedua mempelai Joko Suryo dan Ningrum yang sudah syah menjadi suami istri, kita mencari tidak jauh dari lingkungan wilayah desa ini, saya bagi menjadi sepuluh kelompok pasukan, setiap kelompok pasukan terdiri dari sepuluh orang, untuk pasukan dari kampung Sayyid Purnomo bergerak di wilayah bagian selatan, untuk pasukan  dari mbok Sumirah bergerak di wilayah bagian utara, ingat! jangan sekali-kali melampaui batas wilayah, cukup di wilayah kita sendiri, karena melihat jalan setapak dan aliran air dari goa tretes gunung songgo dulang tersebut menembus wilayah utara dan barat, maka semua kelompok pasukan harus menuju ke pusat goa terlebih dulu, lalu seluruh pasukan berpencar secara berputar seperti membentuk jaring laba-laba, apabila tidak ditemukan tanda-tanda mencurigakan maka segera terpecah menjadi sepuluh kelompok pasukan dan kelompok pasukan ini saya beri nama kelompok pasukan satu, dua, tiga sampai sepuluh, setiap kelompok pasukan tidak ada pimpinan tetapi harus kerjasama yang baik tidak boleh pecah belah, perlu dipahami ular naga sebesar itu bisa sembunyi di bawah batu besar, pohon yang rimbun, mengikuti aliran sungai atau kali, sembunyi di lubang-lubang tanah, dan apa saja yang memang menurut firasat kalian itu diduga tempat sembunyi ular naga maka lakukan sesuatu!” kata Penghulu Raden Fakih dalam membagi dan memberi tugas kelompok pasukannya.
Seluruh pasukan yang berjumlah seratus orang berjalan menuju Goa Tretes, mereka membawa senjata tradisional seadanya seperti bambu, kayu, keris, pedang, tali, cangkul, mereka berjalan sambil memanjatkan do’a berharap Joko Suryo dan Ningrum dapat ditemukan, jalan yang dilalui para pasukan dinamakan jalan GERENDENG yang sekarang menjadi GRENJENG, karena kelompok pasukan itu bersikap seperti  hendak menyerang  musuh.
Ù Jalan Gerendeng (Grenjeng)
Pertama yang diserbu pasukan adalah Goa Tretes, seluruh pasukan berputar terpusat dari Goa lalu berputar secara spiral, mereka berjalan pelan tapi pasti, gerakan mereka selalu waspada, mencurigai segala sesuatu misalnya rerumputan yang rimbun, batu besar, lubang bukit, dan lubang tanah.
Pasukan satu sampai sepuluh tidak menemukan tanda-tanda yang diduga tempat persembunyian ular naga yang menelan Joko Suryo dan Ningrum, hanya menjumpai ular kecil-kecil, celeng, rusa, babi, srigala  dan binatang ternak.
Karena tidak ditemukan ular naga yang dimaksud, setiap kelompok mulai turun dari Gunung songgo dulang.
Kelompok SATU menyisir sungai bagian timur perbatasan antara Desa Dengok dengan Desa Blimbing, mereka berjalan diantara kiri dan kanan sungai mulai dari Gunung Songgo Dulang sampai dekat Pantai, sampai di pantai Kelompok SATU menjumpai gundukan tanah yang menyerupai bukit, mereka mempunyai firasat perkiraan ular itu hanyut disungai kemudian takut dengan air laut mereka berhenti dan menyelimuti dirinya dengan tanah dan batu sehingga air sungai tidak dapat mengalir ke laut, Kelompok SATU ini setelah bermusyawarah, sepakat untuk mengeduk (menggali) gundukan tanah tersebut, secara bergantian tanah tersebut digali (Jawa : dikeduki/diduduk) sembilan orang sudah bekerja sekuat tenaga, gundukan tanah tersebut hampir habis, tinggal giliran satu orang lagi, baru dicangkul sekali tiba-tiba air sungai itu meluap sangat derasnya dari arah selatan, padahal tidak ada angin tidak ada hujan, sembilan orang terseret derasnya air yang mengalir dari arah selatan sampai ke laut akhirnya sembilan orang itu meninggal dunia dan mayatnya dimakamkan di tepi pantai seratus meter sebelah barat dari kali duduk, hanya satu yang selamat yaitu orang menyangkul terakhir, maka sungai/kali tersebut dinamakan KALI DUDUK (Sungai yang diduduk).
   
 1.Kali duduk tampak dari utara 2. Kali duduk tampak dari selatan 3. Kali duduk tampak dari arah timur
   
4. Makam Pantai Gowah (sebelah Timur)     5. Makam Pantai Gowah (sebelah barat)
Kelompok DUA juga turun gunung melewati barongan (pohon bambu yang rimbun), ketiga rombongan ini merasa kelelahan karena banyak bambu yang ditebang dan tidak ditemukan sesuatu mencurigakan, sepuluh orang Kelompok DUA ini istirahat di bawah pohon bambu kuning sejalur dengan jalan Grenjeng, mereka berbincang-bincang sambil melihat kiri kanan, salah satu diantara mereka melihat batu besar terletak diatas bukit lalu bersama-sama mendekati batu besar yang menancap diatas bukit tersebut, setelah dilihat sisi-sisi batu tersebut, sepuluh orang itu bergandengan tangan menyambungkan jari tangannya satu dengan lainya, ternyata ukuran keliling batu itu sesuai panjang rentang tangan sepuluh orang Kelompok DUA ini:
“Jangan-jangan ular naga itu berada di dalam bukit yang tertutup batu, karena batu tersebut bukan batu alam tapi semacam diletakkan begitu saja!” duga salah satu diantara mereka.
“Kalau begitu mari kita angkat batu ini bersama-sama”. Sahut temannya.
Kelompok DUA kemudian mengangkat batu besar sekuat tenaga, tidak mampu diangkat lalu didorong, batu itu tak menggeliat sedikitpun, karena tidak ada hasilnya sedangkan tenaga mereka sudah payah, timbul hati tidak sabar, maka sepuluh orang melakukan gerakan acak, batu diokak-okak (didorong oleh kaki, tangan dan tubuh), bergeraklah batu itu sedikit-demi sedikit, mereka bekerja keras sambil meneriakkan yel-yel secara kompak “Kolobis kuntul baris...kolobis kuntul baris....dan seterusnya berulang-ulang, tidak lama kemudian burung kuntul (semacam bangau) datang beribu-ribu diatasnya dan langit jadi gelap, batu itupun semakin lepas dari cengkraman bukit, kemudian “Brug” batu lepas dari atas bukit sembilan orang tergelincir jatuh tertindih batu besar itu, mereka meninggal dunia dikubur ditempat itu, Bekas alas batu yang pokak itupun tidak didapati ular naga yang dimaksud, hanya sebuah terowongan dangkal yang dihuni ular-ular biasa, kalajengking, dan katak, dengan kejadian ini seorang yang masih hidup menamai Kuburan WATU POKAK karena tempat ini disemayamkannya pasukan Kelompok DUA yang wafat akibat tergulung watu yang diokak-okak.
   
1.Makam Watupokak         2. Lubang Bekas batu yang pokak     3. Bukit Watupokak

Kelompok TIGA melewati tepi kali jalur bagian tengah, jaraknya dua ratus meter dari kali duduk, ketika melewati jalan menyeberang, satu persatu mereka harus meloncat dan menjebur tanah lumpur yang warnanya merah, setelah menjebur sampai lutut warna kakinya merah, tempat itu kemudian disebut tanah merah (tanah abang), letaknya ditengah-tengah antara jalan Grenjeng dengan Jalan Gowah, setelah menyeberang mereka melihat air sungai bergelombang berjalan lambat, dikira yang berjalan dalam air itu ular naga, Kelompok ini berlari mengejar gerakan air tersebut, sampai di jalan raya aliran air sungai diputus (dipedot) dengan menumpuk batu besar, tetapi gelombang air semakin besar dan mengalir deras, sembilan orang tak kuasa menahan gerakan gelombang akhirnya terpental ke laut dan lenyap tanpa bekas, hanya satu yang selamat lalu membuat gubug kecil di atas tumpukan batu, sungai/kali yang diputus dengan tumpukan batu dinamakan KALI PEDOT (sungai yang diputus oleh bangunan rumah).
    
1.Jembatan Kali pedot       2. Kali pedot tampak dari utara  3. Kali pedot bagian selatan

Kelompok EMPAT yang mengambil pintasan jalan kampung besar terasa keletihan karena jalan yang dilalui naik turun dan berbatuan, mereka istirahat karena kecapekan dan lapar, di tempat ini mereka tidak menemukan makanan atau minuman apapun hanya ada tanaman jagung dan kacang, mereka berteriak-teriak :
“Haiiiiiii... siapa yang empunya tanaman jagung dan kacang ini, aku mau minta!”, kata-kata itu diucapkan berulang-ulang oleh anggota Kelompok EMPAT ini.
Namun tidak seorangpun yang membalas, tak ada yang menyahutnya, tiba-tiba seseorang berpakaian serba putih memakai sorban berjalan melintas di depannya.
“Pak...., tolong saya, mau minta jagung dan kacang ini perutku lapar sekali?”, pinta mereka dengan suara tertatih-tatih lesu.
“Dalam keadaan darurat begini silahkan ambil, kamu juga sudah berniat minta ijin untuk mengambil tapi tak seorangpun yang muncul, silahkan ambil dan makanlah,” jawab orang asing tersebut.
“Tapi pak, jagung dan kacang ini masih mentah (belum dimasak).”Kata mereka.
“Jagung dan kacang ini sudah masak dan enak dimakan, tak ambil satu ya..”Jawab orang asing itu sambil memetik satu jagung yang masih nempel di batangnya.
Ternyata jagung yang dipetik itu kemudian dikupasnya, subhanallah, sangat ajaib sekali karena jagung itu mengeluarkan asap dan air yang hangat-hangat kuku seperti baru dimasak.
Sepuluh orang Kelompok EMPAT memetiknya bersama-sama’ ternyata matang semua dan enak dimakan, begitu juga kacangnya begitu dicabut langsung mengeluarkan asap seperti baru  dimasak.
Setelah mereka kenyang semua, salah satu dari mereka bertanya:
“Pak..., Bapak ini seorang Kyai atau guru pendekar kelihatannya amat sakti mandraguna, namanya siapa dan rumahnya dimana kami ingin ikut Bapak ?” tanyanya
“Iya pak kami semua ingin berguru kepada Bapak”, sahut mereka Kelompok EMPAT bersama-sama.
“Hari sudah petang saudaraku, saya harus sampai di desa Banjarwati sebelum maghrib, baiklah kalau kamu berminat ikut aku, tunggu disini dan besok jam tiga pagi sebelum shubuh kalian semua harus sudah bangun, karena aku akan menjemput kalian dan waktu shubuh aku harus sudah ada di Masjid Demak.”Jawab orang asing tersebut.
Kelompok EMPAT ini setelah ditinggal oleh orang asing tersebut masih meneruskan makan jagung dan kacang sekenyang-kenyangnya sehingga tidurnya sangat lelap dan pulas. Ketika pukul tiga pagi Raden Qosim menghampiri mereka, karena kekenyangan mereka bangun jam empat pagi, mereka saling membangunkan satu dengan lainya untuk menunggu orang asing tersebut (kanjeng Sunan Drajat) dengan kepala manguk-manguk di tepi jalan dan inceng-inceng (melihat-lihat) menunggu lewatnya Sunan Drajat.
Karena Kanjeng Sunan Drajat sudah menghampiri dan Kelompok EMPAT terlambat bangun, maka Kanjeng Sunan Drajat meninggalkannya, mereka terus-menerus manguk-manguk sampai matahari terbit, orang yang melihat peristiwa tersebut berkata “orang kok selalu semangguk-semangguk (angguk-angguk kepalanya) menunggu siapa?”, lalu jalan ini disebut jalan SEMANGU.
ÙJalan Semangu
Kelompok LIMA menelusuri jalan setapak dari alas ke alas yang penduduknya sangat jarang, satu alas/tegal hanya dihuni satu orang, di tengah perjalanannya merasa kehausan yang amat sangat, terpaksa sepuluh orang ini harus berhenti, di tempat pemberhentian ditemukan lubang kecil berdiameter tigapuluh centimeter, mereka satu persatu mencoba menggayuh dengan tangannya namun setiap tangan dimasukkan ke lubang itu seakan-akan ada yang menyedotnya, mereka mencoba untuk membuat tali dari sabut kelapa dipintal jadi panjang, bathoknya digunakan untuk timba, sembilan orang membuat tali dan timba yang panjanganya sama kira-kira sepanjang pohon kelapa sedangkan yang satu orang hanya berdoa saja, sembilan orang memasukkan tali dan timba ke dalam lubang tersebut kemudian satu persatu menariknya, keajaiban terjadi didapatnya air yang bersih dan jernih, air tersebut lalu diminum ternyata baru diminum seteguk haus dahaga lenyap seketika, karena penasaran dengan lubang itu, mereka mengira tempat persembunyian ular naga yang membawa Joko Suryo dan Ningrum, maka Kelompok LIMA ini hanya berdoa dan menunggu keluarnya ular naga dari lubang itu, mereka menunggu bertahun-tahun dan setiap kali kehausan cukup air dari lubang tersebut untuk minum, konon mereka tidak makan sama sekali hanya minum air dari lubang itu.
Kelompok LIMA ini tidak diketahui kemana jejaknya dan lubang air minum pun lenyap karena tertutup oleh tanah dan batu.
Pada suatu masa seorang laki-laki setengah baya bernama KASTIMAN (Mbah Mang) merantau dari Desa Asembagus Bangkalan Madura ke desa ini dan bertempat tinggal di lokasi  tempat Kelompok LIMA pernah tinggal, Kastiman (Mbah Mang) seorang petapa, beliau suka tirakat (melakukan pendekatan kepada tuhan), selama tirakat tujuh hari Kastiman mendapat wangsit (Petunjuk ghaib) agar membuat/menggali tanah di sekitar itu yang ditandai dengan watu item ( batu berwarna hitam pekat) di bawah batu terdapat sabut kelapa yang melingkar seperti obat nyamuk menutupi lubang tersebut.
Dari ilham yang diterima, Kastiman (Mbah Mang) menelusuri lokasi itu, ternyata tidak jauh dari gubug tempat tinggalnya hanya berjarak 30 meter terdapat batu hitam pekat, dengan membaca surah Al Fatihah tujuh kali, batu  tersebut diangkat pelan-pelan terlihat olehnya sabut kelapa melingkar secara spriral, kemudian sabut kelapa ditarik putar kekanan searah jarum jam, tali tersebut tidak malah kendur bahkan tambah kencang, dengan konsentrasi mbah Mang mencoba lagi diputar tali itu ke kiri berlawanan dengan arah putar jarum jam, didapati lubang  berdiameter 30 centimeter, mbah Mang menggali lubang itu menggunakan batang kayu manis, baru digali sedalam dua meter tiba-tiba menyemburat air dari  sembilan arah, air mancur tersebut dirangkul seketika oleh mbah Mang, dengan ajaibnya air mancur sembilan arah bisa menyatu, menurut pendapat orang tua bahwa air yang menyemburat itu disebut sumber air JUMPRIT, tidak sembarang orang dapat menjumpai air JUMPRIT, apabila seseorang menjumpai air JUMPRIT sedangkan pada dirinya terdapat sifat rakus dan sombong atau memiliki sifat jahat bila terkena air JUMPRIT akan gila bahkan bisa meninggal dunia seketika, sebaliknya apabila pada diri seseorang memiliki sifat baik bila terkena air JUMPRIT akan menjadi sakti, air JUMPRIT ini keluar dari sumber air sumur sewaktu-waktu.
Setelah mbah Mang menggali sumur sedalam dua meter dijumpai air JUMPRIT yang menyemburat dan berhasil menyatukannya, mbah Mang tertegun karena air JUMPRIT yang keluar dari sembilan arah tiba-tiba redam dan lenyap kedalam sumur. Mbah Mang menyempatkan diri menengok sumur buatanya airnya berlimpah ruah memenuhi sumur, mbah mang memuji syukur atas sumur yang selesai dibuat.
Sepulang dari Sumur mbah Mang tirakat lagi selama tiga hari, beliau mendapat wangsit lagi, agar sumur diperlebar digali lebih dalam, setiap kali menggali untuk memperluas sumur mbah Mang terasa haus, diminumlah air itu ternyata rasanya sangat manis semanis madu, karena sumur yang dibuatnya dianggap sudah selesai, mbah Mang bersumpah serapah, jari telunjuknya mengarah ke sumur lalu katanya  “Demi Allah, Kelak sumur ini menjadi sumur minum (Sumur Ombe) yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh umat manusia dari beberapa kampung (Desa).”
1.Jalan Sumur Ombe         2. Kampung Sumur Ombe                   3. Lokasi  Sumur Ombe
   
               4. Antre Ambil Air                5.Sumur Ombe bagian atas       6. Sumur Ombe bagian dalam

Karena terdapatnya patilasan sumur minum, sekarang jalan menuju tempat tersebut dinamakan SUMUR OMBE, adapun silsilah keluarganya adalah Mbah Joyo Sumbar, Mbah Joyo Sumbar mempunyai keturunan Liknah, Sudarko, Suwandi, Sumur Ombe ini dianggap keramat oleh masyarakat, karena setiap ada bayi usia satu tahun belum bisa berjalan dibawa ke Sumur Ombe ini kakinya diungkal (diasah) dibibir sumur tepatnya hari jum’at wage waktu adzan dzuhur atau jam dua belas siang, setelah melakukan hajat biasanya menyeburkan uang logam ke dalam sumur tersebut. wallahu a’lam bayi itu langsung bisa berjalan ada yang dalam tempo satu hari, paling lambat satu minggu baru bisa berjalan, adat istiadat ini masih berlangsung sampai sekarang. Sumur Ombe itupun sejak mulai dibuat sampai sekarang belum pernah surut (Sat), padahal sejak sumur ombe digunakan, masyarakat desa Sedayulawas, Brondong, Blimbing, Dengok, Kandangsemangkon, Paciran bahkan Dadapan ambil air minum di Sumur Ombe ini, Sumur ombe sangat terkenal disamping sebagai air minum juga obat segala penyakit, dahulu orang desa Blimbing apabila mengeluhkan suatu penyakit, datang ke sumur ini pada jam dua belas malam, mereka ambil air dengan cara NGANGSU (air ditampung dalam buyung) lalu disimpan dalam rumah, setelah bangun tidur perut dalam keadaan kosong, air diminum sebanyak mungkin sekenyang-kenyangnya sampai hampir muntah, alhasil bablas penyakitnya.
Seumur zaman baru sekali Sumur ombe ini surut, airnya kering, sumber tidak keluar yakni ketika terjadi perebutan antara pamong desa dengan keluarga keturunan mbah Mang, salah seorang Pamong Desa ingin menguasai sumur ombe dengan cara menarik biaya orang-orang yang ambil air di Sumur ombe, tapi keluarga keturunan mbah Mang yakni bapak Joyo Sumbar tidak setuju, karena masih berpegang teguh dengan wasiat moyangnya (mbah Kastiman) “Demi Allah, Kelak sumur ini menjadi sumur minum (Sumur Ombe) yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh umat manusia dari beberapa kampung (Desa) dengan cuma-cuma!”, Pamong Desa itu tidak mengindahkannya bahkan dilakukan secara terang-terangan dan memaksakan diri, uang hasil penarikan air sumur tidak digunakan untuk kesejahteraan keluarga mbah Mang atau pegawai Pamong Desa kseluruhan, tetapi digunakan untuk kebutuhan sendiri, tidak lama kemudian sumur itu surut airnya dan oknumnya meninggal dunia, naudzubillahimindzalik.
Joyo Sumbar yang merasa teraniaya, dengan sabar bertekat masuk ke dalam sumur, tangan halusnya meraba dasar sumur tersebut didapat sembilan sumber air yang tembus dari berbagai arah sumber air besar di wilayah Kabupaten Lamongan dan semua aliran sumber  buntu (tertutup oleh logam uang), satu persatu aliran sumber di buka dan uang logam dikumpulkan, terdapat macam-macam uang logam yang nilainya dari terkecil sampai terbesar, ada yang bergambar Ratu Belanda sampai gambar burung Garuda, alhasil sembilan aliran sumber terbuka, air mengalir dengan sempurna, sampai sekarang tak pernah surut lagi dan masyarakat sudah dapat menikmati air minum Sumur ombe dengan gratis.
Kelompok ENAM merupakan pasukan yang mendapat tugas menyisir sebelah barat gunung songgo dulang, mereka menyusuri bukit-bukit kecil, menerobos pohon-pohon besar, dijumpailah pohon Sawo raksasa yang amat rindang, karena kelompok ini merasa kecapekan dan tidak ditemui tanda-tanda persembunyian ular naga. mereka berhenti di bawah pohon sawo tersebut, tempat itu merupakan makam/kuburan yang baru dihuni 5 jenazah diantara empat jenazah adalah dari saudara Sayyid Ali termasuk mendiang ayah Ningrum Anggraeni Setiasih.
Pohon sawo buahnya amat lebat, daunya rimbun, Kelompok ENAM mengira ada ular naga yang bersemayam diatasnya, mereka menunggu dibawah berharap ular naga itu turun dari pohon sawo ini sambil menikmati buah sawo yang sudah matang, berhari hari berminggu-minggu bahkan sampai berbulan bulan apa yang diharapkan tak kunjung datang, sampai mereka membuat rumah di bawah pohon sawo itu, Kelompok ENAM ini merupakan cikal bakal keturunan penduduk baru, satu persatu dari sepuluh orang Kelompok ENAM ini menikah dan beranak cucu di tempat ini, karena penduduk ini merupakan cikal bakal keturunan asli desa, keluarga Kelompok ENAM yang meninggal/wafat dimakamkan di bawah pohon sawo ini.
Kelompok ENAM hidupnya guyup rukun, saling membantu, tolong menolong, setiap ada musibah bencana banjir atau badai mereka berkumpul di bawah pohon sawo ini. Pada suatu hari terjadi pasang air laut, gelombangnya menuju ke darat sampai lima ratus meter, warga penduduk sorsawo masih banyak yang percaya tahayul, aliran animisme dan dinamisme, mereka menganggap air laut yang pasang adalah ulah ratu laut kidul yang marah karena tidak ada patok/batas berlabuh kapal, seluruh warga dikumpulkan oleh kepala kampung kemudian menyembelih kerbau, kepala kerbau ditancapkan pada ujung pohon kelapa lalu bersama-sama membaca mantra ditujukan Nyi roro kidul agar tidak marah, kepala kerbau  dan pohon kelapa dibawa menuju tengah laut beramai-ramai, sampai di perbatasan batu karang, satu kilo meter dari darat, pohon kelapa yang ujungnya ada kepala kerbau ditancapkan sebagai ANJIR (patok batas sandar kapal).
Satu minggu setelah peristiwa penancapan anjir, terjadi perang saudara, mereka saling membunuh, anehnya, pohon sawo raksasa itu tumbang kemudian menindihi tubuh mereka kontan saja banyak nyawa yang melayang, mayat-mayatnya dikubur di tempat ini, Kemudian lokasi makam/kuburan ini dinamai makam Cikal Bakal (KALBAKAL) dan jalan menuju makam kalbakal diberi nama jalan SORSAWO (Ngisor Sawo / dibawah pohon sawo).
   
1.Makam kalbakal                  2. Jalan Sorsawo       3. Makam kalbakal Kondisi sekarang
 

Kelompok TUJUH menempuh perjalanan ke Barat Daya, mereka  mengalami kesulitan karena terhalang oleh cahaya yang menyerupai ular naga yang amat besar warnanya putih keabu-abuan, mereka mengitari tempat itu berulang-ulang sampai larut malam, kelompok ini amat ketakutan karena keadaan SEREM dan REMENG REMENG (seram dan remang-remang), di bawah pohon caplokan mereka menghentikan langkah, dipandang cahaya itu menyerupai ular naga tapi berangsur angsur lenyap ke dalam tanah, Kelompok TUJUH memburu cahaya itu dan mau menusuknya dengan bambu runcing yang dibawanya, ternyata setelah dekat nampak sebuah sumur telaga yang bentuknya seperti kaki raksasa, orang menyebutnya sumur tlincak’e seno (Sumur Telapak Kaki Raksasa), sumur ini aliran sumber air tidak jelas, salah satu anggota kelompok tujuh memberanikan diri menyebur, airnya mengalir semacam telaga.
Kelompok TUJUH menunggu berhari-hari tidak makan hanya minum dari air sumur tlincak’e seno tersebut, pada saat tertentu sumur itu airnya menyemburat persis seperti cahaya yang dilihat oleh mereka tempo hari, air yang menjuntai keluar dari sumur persis seperti di Sumur ombe yaitu Air JUMPRIT, air yang menyemburat menyerupai ular naga ini membawa melayang sembilan orang Kelompok TUJUH, mereka  terbang  sangat tinggi terbawa air mancur kemudian bagai kilat menyambar air lenyap ke dalam sumur, sembilan nyawa terpelanting jatuh tak tertolong, satu orang masih hidup takak ikut memburu bayangan ular naga hanya berdo’a sehingga ia selamat dari maut, ia menyemayamkan sembilan temannya di sebelah timur sumur tlinca’e seno, makam tersebut diberi nama MAKAM SREMENG dan sumurnya  disebut SUMUR MINUM TAPAK SENO yang sekarang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai air minum.
    
    1.Makam Sremeng dari Timur      2. Makam Sremeng Utara          3. Makan mbah Seremeng
   
1.Bangunan tower Sumur Sremeng     2. Kondisi Sumur Sremeng   3.Jl. menuju Makam Sremeng
Kelompok DELAPAN bertugas menelusuri sebelah barat daya, dalam menempuh perjalanan kelompok ini melampau batas wilayah yang disarankan Penghulu Raden Fakih, mereka menyeberang sungai  ditemukan gundukan tanah yang dicurigai tempat bertapa ular naga, karena gundukanya menyerupai bukit tanah yang melingkar seperti ular, Kelompok DELAPAN membongkar dan menyangkul tanah dengan paksa, sehingga lempengan tanah sekitar menjadi miring lalu keluar sumber air yang sangat besar, sembilan orang hanyut terseret aliran SUMBER air yang AGUNG (sangat besar), seorang yang tidak hanyut ingin menolong, mengejar temannya yang hanyut terseret air, mereka berlari sekencang-kencangnya ke utara untuk NGEBONG (menutup aliran air) dengan membuat RIS (meletakkan batu-batu di tengah sungai), namun air masih menyuat ke atas melewati RIS tersebut, teman-temanya diketemukan dalam keadaan lemas kemudian meninggal dunia menyatu di bawah RIS tersebut selanjutnya tempat ini dijuluki BONGRIS (dibong dengan ris), mayatnya disemayamkan dekat sungai pinggir jalan, diberi nama MAKAM BONGRIS (Sekarang:selatan SDN Blimbing 2), karena terdapat sumber air yang besar menjadi nama desa SUMBER AGUNG adapun lempengan tanah miring yang menampung sumber air disebut BETIRING (tempat pemandian Gajah Belang).
   
1.Jalan Menuju Bongris                  2. Sungai Bongris             3. Ris untuk menghambat air sungai

   
4. Makam Sumberagung        5. Kolam Sumberagung                               6. Jalan menuju Betiring
7. 8.  9.
7. Pemandian Betiring (tempat mandi Gajah Belang)
8. Kolam Pemandian (untuk Laki-laki)
9. Kolam Pemandian (untuk perempuan)
                                      
Kelompok SEMBILAN berjalan dari GOA TRETES lurus ke barat, melewati bukit-bukit gersang, sebelum menyeberang jalan besar pasukan ini terhalang oleh bukit yang jalannya menanjak, mereka melihat mahluk besar seperti GAJAH tetapi warna kulitnya BELANG (telau-telau putih dan warna-warni) sedang duduk diatas batu menghadap ke barat, rupa dan wajahnya tidak dapat dikenali dari jauh, Pasukan Kelompok SEMBILAN saling berpendapat:
“Itu seperti riasan pengantin yang indah dan berwarna warni, jangan-jangan itu Joko Suryo dan Ningrum yang dililit ular naga,” kata salah satu dari mereka.
“Mungkinkah itu Ular naga sedang bertapa dan melepaskan kedua mempelai.” Sahut temannya.
“Mungkin saja, nampak kepalanya besar, tubuhnya persis seperti ular, tapi masih hidup atau sudah mati ya,” sahut temanya lagi.
Sembilan orang dari Kelompok ini pandangannya kabur tidak dapat melihat dengan jelas makhluk apa yang dijumpai itu, hanya seorang yang bernama SIMAN memiliki ilmu kebatinan dapat menerawang dengan jelas, bahwa mahluk yang ditemui adalah manusia  rakyat jelata yang sedang bertapa, apabila melihat dengan mata kepala petapa itu menjelma seperti gajah warna kulitnya belang, untuk mengelabuhi orang lain, dia adalah GAJAH BELANG melakukan semedi karena mempunyai tekat ingin menyunting seorang putri Raden Rangga Jaya Sasmita.
Sembilan orang yang pandanganya kabur tersebut segera berlari menuju bukit lalu menyergab Gajah Belang, mendengar ada seseorang yang mendekatinya, gajah Belang terbangun dari pertapaan dan berbalik arah, orang sembilan yang akan menyerang, melihat dengan jelas perubahan yang terjadi, dari jauh dilihat seekor gajah warna kulitnya belang setelah bertapanya selesai Gajah Belang berubah seperti layaknya manusia, badannya gagah perkasa, gembal, otot tubuhnya seperti binaragawan, sehat jasmani dan rohani, konon tubuhnya bisa melayang saat melakukan yoga, ilmu yoga diperoleh waktu belajar bela diri di Padepokan gunung Semeru, Gajah Belang memiliki 3 pernapasan, pernapasan hipnotis, magnetis dan tenaga dalam, Gajah Belang sangat sakti, sayang sekali bertapa untuk mendapatkan ilmu menghilang belum diperoleh karena ada gangguan. Perangainya sangat terpuji, meski buruk rupa, wajahnya sangat jelek, tapi putri Raden Rangga Jaya Sasmita tergila-gila padanya.
Karena merasa dirinya diserang akan dibunuh oleh sembilan orang, Gajah Belang mempertahankan diri melawan mereka, terjadilah perkelaian satu melawan sembilan orang, SIMAN yang menyaksikan temannya berlari untuk menyerang Gajah belang, berteriak sekuat tenaga mencegah untuk tidak menyerang orang yang sedang bertapa, namun nasi sudah menjadi bubur perkelaian terjadi sangat dahsyat, dengan kesaktian yang dimiliki, Gajah Belang mengeluarkan Ilmu jurus Gajah, sekali kaki menendang lawannya melesat sampai gunung songgo dulang, bahkan ada yang terlempar sampai gunung menjuluk  sedayulawas. kulitnya bisa berubah warna seperti bunglon sehingga musuh sulit melihat posisi tubuh Gajah Belang. Orang menyebutnya Pendekar Gajah Belang, melihat sembilan orang temannya mati konyol SIMAN mendekati Gajah Belang dan meminta maaf atas prilaku temannya, Gajah Belang memaafkan dan merasa sejuk hatinya setelah melihat dan berjabat tangan dengan SIMAN, Gajah belang bersahabat dengan SIMAN, tubuh Gajah Belang berlumuran darah, dia menyesal atas perbuatan yang dilakukannya kemudian mengajak SIMAN mandi di BETIRING. Setelah mandi keduanya berpisah, SIMAN melanjutkan pulang ke Gunung Langgar, ditengah perjalanan beberapa orang menyegatnya meminta agar SIMAN bersedia menjadi guru di Padepokannya:
“Pak, kami sudah satu minggu ditinggal pergi oleh guru saya, di padepokan ini belum ada yang dapat kami jadikan sesepuh!” katanya
“Ditinggal pergi kemana saudaraku”! tanya Siman
“Beliau meninggal dunia karena sakit, kami mohon bapak rela menjadi guru saya!” jawabnya
“Saya ini, bukan orang sakti saudaraku, saya juga sedang berduka cita, karena teman-teman saya baru saja bertengkar dengan saudaranya sendiri karena salah paham,  sampai meninggal dunia.” Jawab Siman.
Mereka bersikukuh memohon kepada Siman agar mau menjadi sesepuh di Padepokanya, mendengar keluhan dan permohonannya,  SIMAN bersedia menjadi sesepuh lalu menetap dipadepokan itu, kemudian tempat itu dijuluki SIMAN (sekarang Siman Raya).
Sedangkan Gajah Belang pergi ke gunung Menjuluk menemui perempuan pujaan hatinya Dewi Rara Tangis putri Tumenggung Raden Rangga Jaya Sasmita.
   
1.Jalan Menuju Makam Gajah Belang  2. Lokasi Makam gajah Belang3. Lokasi Makam Gajah Belang

     
Ù Makam Gajah Belang dan Keluarganya
Kelompok SEPULUH adalah pasukan campuran dari wilayah utara (Mbok Sumirah) dengan wilayah selatan (Sayyid Purnomo), mereka menyusuri jalan tengah desa ini, dijumpai kerumunan orang ramai sekali, mereka mengira Ular Naga yang membawa Joko Suryo dan Ningrum Anggraeni Setiasih itu sudah ditemukan dan disaksikan orang banyak, ternyata salah praduga, di tengah desa ini Ratu Sulinggawa dari Jawa barat sedang mengadakan sayembara, di tengah desa ini terdapat dua jenis pohon blimbing, terdiri dari jenis pohon Blimbing wuluh (Blimbing ulo) jumlahnya sembilan pohon , yang lainnya jenis pohon blimbing bintang jumlahnya sembilan pohon, pohon-pohon blimbing tersebut belum berbunga dan berbuah, Ratu Sulinggawa mengeluarkan sabda barang siapa  yang  berhasil memanjat blimbing bintang sampai ujung akan dijadikan anak angkat.
Orang-orang berdatangan dari penjuru daerah cukup banyak, mereka ada yang ingin mengikuti sayembara ada yang sekedar menonton. Sepuluh orang dari pasukan Kelompok SEPULUH lupa akan tugas mencari ular naga raksasa, mereka bertekat mengikuti sayembara ini, setelah Ratu Sulinggawa meniupkan terompet pertanda sayembara dimulai, dari Kelompok SEPULUH maju satu persatu.
Orang Kesatu berjalan mendekati delapan belas pohon blimbing, kemudian memilih salah satu dari delapan belas pohon, setelah yakin dengan pilihannya mulailah memanjat pohon blimbing yang dipilih, baru memanjat setengahnya orang Kesatu ini merosot, tubuhnya mrotoli (hancur) karena salah pilih dan niatnya ikut sayembara, kalau menjadi anak angkat Ratu Sulinggawa akan menumpuk kekayaan dan ingin menjadi orang terkaya.
Orang Kedua setelah memilih salah satu pohon yang diyakininya, lalu  memanjat, baru memanjat setengahnya nasibnya sama seperti Orang Kesatu tubuhnya merosot dan hancur lebur karena ikut sayembara berniat, apabila menjadi anak angkat Ratu Sulinggawa akan menikahi putrinya yang paling cantik.
Orang Ketiga nasibnya juga sama dengan orang kesatu dan kedua tubuhnya merosot dan hancur lebur karena berniat, kalau menjadi anak angkat Ratu Sulinggawa akan membunuh Ratu Sulinggawa dan menggantikan kedudukannya.
Orang Keempat nasibnya juga sama dengan orang Kesatu, Kedua dan Ketiga, tubuhnya merosot dan hancur lebur karena berniat, kalau menjadi anak angkat Ratu Sulinggawa akan meguasai dan menggunakan harta kekayaanya dengan berfoya-foya.
Orang Kelima nasibnya juga sama dengan orang Kesatu, Kedua, Ketiga dan Keempat  tubuhnya merosot dan hancur lebur karena berniat, kalau menjadi anak angkat Ratu Sulinggawa akan melakukan M-LIMA/MOLIMO (Minum, Maling, Madat, Madon, Membunuh).
Orang Keenam nasibnya juga sama dengan orang Kesatu, Kedua, Ketiga, Keempat dan Kelima, tubuhnya merosot dan hancur lebur padahal sudah mencapai ujung pohon Blimbing Bintang, ini terjadi ketika sudah di puncak pohon dia berdiri tegak seraya sesumbar “Wahai saudara-saudara, akulah yang pantas menjadi anak angkat Ratu Sulinggawa, akulah yang paling sakti, ha...ha...ha...., aku akan menjadi putra mahkota, kelak akan menggantikan Ratu Sulinggawa !”, setelah sesumbar dengan sombong, orang keenam ini kakinya terasa ada yang menarik, seketika itu mrosot dari pohon tubuhnya hancur .
Orang Ketujuh berhasil mencapai ujung pohon Blimbing Bintang ,keajaiban terjadi, pohon Blimbing Bintang keluar bunga dan buah , Orang Ketujuh ini memakan buah Blimbing sepuasnya yang rasanya sangat manis, semua penonton terperangah menyaksikan orang ketujuh, merasa senang dapat menjangkau puncak Blimbing Bintang, lalu menikmati buah sampai kenyang kemudian tertidur pulas di atas pohon blimbing, karena niatnya ikut sayembara, ingin menjadi anak angkat Ratu Sulinggawa yang mengabdi kepada kerajaan. Semua orang yang menonton berteriak, meminta kepada orang ketujuh turun dari pohon tapi tak terdengar karena sudah tidur lelap.
Orang Kedelapan. Kesembilan dan Kesepuluh mengundurkankan diri dari sayembara. karena takut menjadi korban seperti teman-temannya.
Ratu Sulinggawa meniup terompet tiga kali, petanda sayembara selesai, Orang Ketujuh resmi menjadi anak angkat Ratu Sulinggawa, pada saat dibacakan ikrar pengangkatan orang Ketujuh lelap tidurnya diatas pohon Blimbing Bintang. Ratu Sulinggawa membacakan surat peresmian
“Wahai...anak angkatku kamu telah berhasil memanjat pohon Blimbing Bintang, kamu sudah resmi menjadi anak angkat Ratu Sulinggawa. Kamu berhak menjadi penguasa di wilayah desa ini, Desa ini aku beri nama DESA BLIMBING”.
Setelah membacakan ikrar peresmian ratu Sulinggawa melanjutkan perjalanan menuju kerajaannya, Orang Ketujuh yang masih tertidur lelap diatas pohon Blimibing ditinggal sendirian. Konon esok harinya terjadi hujan deras tiga hari tiga malam, sehingga terjadi bencana banjir besar yang menenggelamkan rumah penduduk, banyak nyawa yang melayang, banjir yang sangat besar itu airnya berwarna merah tanah petanda air yang berasal dari gunung, air yang mengalir dengan dahsyatnya menumbangkan banyak pepohonan, batu-batu gunung menggelinding jatuh, banyak binatang yang mati tenggelam sebagian hanyut bersama banjir, ketika hujan reda, air menggenang dimana-mana, Pohon Blimbing yang kokoh berdiri tegak batangnya dililit ular yang amat besar, sebesar pohon kelapa, kepalanya menjuntai ke pucuk pohon Blimbing bintang, ternyata benda itu adalah ular naga yang dicari selama ini, ular naga itu perutnya penuh air, tubuhnya lemas kemudian muntah mengeluarkan dua makhluk yang masih berbusana pengantin, tubuhnya masih utuh namun sudah tidak bernyawa lagi yakni Joko Suryo dan Ningrum Anggraeni Setiasih, merasa ada yang menindih badan Penguasa Desa Blimbing alias anak angkat Ratu Sulinggawa, dia bangun, tidak merasa bahwa telah terjadi hujan deras dan banjir, dilihatnya benda yang menindih tubuhnya ternyata manusia yang dicari selama ini yaitu Joko Suryo dan Ningrum Anggraeni Setiasih, Orang ketujuh ini adalah Penghulu Raden Fakih, adapun ular naga yang telah mengeluarkan Joko Suryo dan Ningrum Anggraeni Setiasih akhirnya mati melilit di pohon Blimbing itu.
Raden Fakih turun dari pohon Blimbing membawa dua mayat yang tak berdosa, keduanya disemayamkan di Makam Kalbakal, ular naga yang melilit tidak dapat dilepas, menjadi tontonan setiap orang yang lewat.
Banyak orang dari luar desa berdatangan silih berganti ke Desa Blimbing untuk melihat ular raksasa mati di pohon blimbing.
Demikian cerita Legenda Desa Blimbing yang berada dibagian wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Propinsi Jawa Timur Indonesia.
Blimbing, 10 Nopember 2014
Penulis
ZAINAL MAHFUD, S.Pd.I
                                                                                                                  


IDENTITAS PENULIS
Nama                    : ZAINAL MAHFUD, S.Pd.I
Tempat lahir       : Blimbing-Lamongan
Tanggal lahir       : 10 April 1968
Pekerjaan           : Wiraswasta (Guru Swasta)
Alamat                 : Jl. Semangu No. 94 RT. 003 / RW. 001 Lingkungan Gowah Blimbing Paciran Lamongan 62264
No. HP                  : 081330758936
Email                     : zainal.mahfud@gmail.com
                                  zainal.mahfud@yahoo.co.id




:


Istri    : Siti Syafa’atin
Anak : 1. Lauhul Firdausi Elbahri
            2. Ichtiro’a  Zainatin Tamara LR
 











 Kenang-kenangan buat:





Cerita ini dipersembahkan untuk